Saat Nasehat Itu Berbisik
Catatan Abu Iram Al-Atsary
Tak ada gading yang tak
retak, tak ada manusia
yang sempurna, selalu
ada kelemahan dan
kekurangannya. Setiap
manusia mesti
mempunyai kesalahan
dan sebaik-baik mereka
adalah yang bertaubat
kepada Allah, menyadari
akan
kesalahannya, lalu
menyesal dan bertekad
untuk tidak
mengulanginya lagi. Oleh
karena itu nasehat
menasehati menuju
kebenaran harus
digalakkan, bagi yang
dinasehati seharusnya ia
berterima kasih kepada
orang yang telah
menunjukkan
kekurangan dan
kesalahannya, hanya saja
hal ini jarang terjadi, pada
umumnya manusia tidak
suka disalahkan apalagi
kalau teguran itu
disampaikan kepadanya
dengan cara yang tidak
baik.
Maka seorang pemberi
nasehat haruslah
mengetahui metode yang
baik agar nasehatnya
dapat diterima oleh orang
lain. Diantara metode
nasehat yang baik adalah
memberi nasehat kepada
orang lain secara rahasia
tanpa diketahui oleh
orang lain. Dalam
kesempatan ini akan
kami nukilkan penjelasan
para ulama tentang adab
yang satu ini.
Nasehat para ulama
tentang menasehati
secara rahasia
Imam Ibnu Hibban
(wafat tahun 534 H)
berkata, Nasehat itu
merupakan kewajiban
manusia semuanya,
sebagaimana telah kami
sebutkan sebelum ini,
tetapi dalam teknik
penyampaiannya
haruslah dengan cara
rahasia, tidak boleh tidak,
karena barangsiapa yang
menasehati saudaranya
dihadapan orang lain
maka berarti dia telah
mencelanya, dan
barangsiapa yang
menasehatinya secara
rahasia maka dia telah
memperbaikinya.
Sesungguhnya
menyampaikan dengan
penuh perhatian kepada
saudaranya sesama
muslim adalah kritik yang
membangun, lebih besar
kemungkinannya untuk
diterima dibandingkan
menyampaikan dengan
maksud mencelanya.
Kemudian Imam Ibnu
Hibban menyebutkan
dengan sanadnya sampai
kepada Sufyan, ia
berkata, Saya berkata
kepada Mis''ar, ''Apakah
engkau suka apabila ada
orang lain
memberitahumu tentang
kekurangan-
kekuranganmu?'' Maka ia
berkata, ''Apabila yang
datang adalah orang yang
memberitahukan
kekurangankekuranganku
dengan cara menjelek-
jelekkanku maka saya
tidak senang, tapi apabila
yang datang kepadaku
adalah seorang pemberi
nasehat maka saya
senang''.
Kemudian Imam Ibnu
Hibban berkata bahwa
Muhammad bin Said al
Qazzaz telah
memberitahukan kepada
kami, Muhammad bin
Mansur telah
menceritakan kepada
kami, Ali ibnul Madini telah
menceritakan kepadaku,
dari Sufyan ia berkata,
Talhah datang menemui
Abdul Jabbar bin Wail, dan
di situ banyak terdapat
orang, maka ia berbicara
dengan Abdul Jabbar
menyampaikan sesuatu
dengan rahasia,
kemudian setelah itu
beliau pergi. Maka Abdul
Jabbar bin Wail berkata,
''Apakah kalian tahu apa
yang ia katakan tadi
kepadaku?'' Ia berkata,
''Saya melihatmu ketika
engkau sendang shalat
kemarin sempat melirik
ke arah lain''.
Imam Ibnu Hibban
berkata, Nasehat apabila
dilaksanakan seperti apa
yang telah kami
sebutkan akan
melanggengkan kasih
sayang, dan
menyebabkan
terealisasinya ukhuwah.
Imam Ibnu Hazm (wafat
tahun 456H) berkata,
Maka wajib atas
seseorang untuk selalu
memberi nasehat, baik
yang diberi nasehat itu
suka ataupun benci,
tersinggung atau tidak
tersinggung. Apabila
engkau memberi nasehat
maka
nasehatilah secara
rahasia, jangan dihadapan
orang lain, dan cukup
dengan memberi isyarat
tanpa terus terang
secara langsung, kecuali
apabila orang yang
dinasehati tidak
memahami isyaratmu
maka harus secara terus
terang. Janganlah
engkau menasehati
orang lain dengan syarat
nasehatmu harus
diterima. Apabila engkau
melampaui adab-adab
tadi maka engkau yang
dzalim bukan pemberi
nasehat, dan gila
ketaatan serta gila
kekuasaan bukan
pemberi amanat dan
pelaksana hak ukuwah.
Ini (-yakni memberi
nasehat dengan syarat
harus diterima-) bukanlah
termasuk hukum akal
dan hukum persahabatan
melainkan hukum rimba,
bagaikan seorang
penguasa dengan
rakyatnya dan tuan
dengan hamba
sahayanya.
Imam Ibnu Rajab (wafat
tahun 795H) berkata, Al
Fudhail (wafat tahun
187H) berkata, ''Seorang
mukmin menutup (aib
saudaranya) dan
menasehatinya
sedangkan seorang fajir
(pelaku maksiat)
membocorkan (aib
saudaranya) dan
memburuk-burukkannya''.
Apa yang disebutkan oleh
al Fudhail ini merupakan
ciri antara nasehat dan
memburuk-burukkan,
yaitu bahwa nasehat itu
dengan cara rahasia
sedangkan menjelek-
jelekkan itu ditandai
dengan penyiaran.
Sebagaimana dikatakan,
''Barangsiapa
mengingatkan
saudaranya ditengah-
tengah orang banyak
maka ia telah menjelek-
jelekkannya.
Dan orang-orang salaf
membenci amar ma''ruf
nahi mungkar secara
terangterangan, mereka
suka kalau dilakukan
secara rahasia antara
yang menasehati dengan
yang dinasehati, ini
merupakan ciri nasehat
yang murni dan ikhlash,
karena
si penasehat tidak
mempunyai tujuan untuk
menyebarkan aib-aib
orang yang
dinasehatinya, ia hanya
mempunyai tujuan
menghilangkan kesalahan
yang dilakukannya.
Sedangkan
menyebarluaskan dan
menampakkan aib-aib
orang lain maka hal
tersebut yang
diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Allah
Ta''ala berfirman:
Sesungguhnya orang-
orang yang ingin agar
(berita) perbuatan yang
keji itu tersiar
dikalangan orang-orang
yang beriman, bagi
mereka adzab yang pedih
di dunia dan akhirat. Dan
Alleh mengetahui
sedangkan kalian tidak
mengetahui (An Nur : 19).
Dan hadits-hadits yang
menjelaskan tentang
keutamaan menutup aib
seorang muslim tidak
terhitung banyaknya.
Imam Syafi''i (wafat
tahun 204H) berkata
dalam syairnya:
Hendaklah engkau
sengaja mendatangiku
untuk memberi nasehat
ketika aku sendirian
Hindarilah memberi
nasehat kepadaku
ditengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya
memberi nasehat
dihadapan banyak orang
sama saja dengan
memburuk-burukkan,
saya tidak suka
mendengarnya Jika
engkau menyalahi saya
dan tidak mengikuti
ucapanku maka janganlah
engkau kaget apabila
nasehatmu tidak ditaati.
Syaikh Muhammad bin
Shalih al Utsaimin
berkata, Perlu diketahui
bahwa nasehat itu
adalah pembicaraan yang
dilakukan secara rahasia
antaramu dengannya,
karena apabila engkau
menasehatinya secara
rahasia dengan empat
mata maka sangat
membekas pada dirinya,
dan dia tahu bahwa
engkau pemberi nasehat,
tetapi apabila engkau
bicarakan dia dihadapan
orang banyak maka
besar kemungkinan
bangkit kesombongannya
yang menyebabkan ia
berbuat dosa dengan
tidak menerima nasehat,
dan mungkin pula ia
menyangka bahwa
engkau hanya ingin balas
dendam dan
mendeskreditkannya
serta untuk menjatuhkan
kedudukannya di mata
manusia, sehingga ia
tidak menerima isi
nasehat tersebut, tetapi
apabila dilakukan secara
rahasia antara kamu dan
dia berdua maka
nasehatmu itu amat
berarti bagi dia, dan dia
akan menerimanya
darimu.
Kapan dibolehkan
memberi nasehat
dihadapan orang lain?
Walaupun demikian ada
beberapa perkecualian
yang membolehkan atau
mengharuskan
seseorang untuk
menasehati orang lain di
depan banyak orang.
Salah seorang Imam
Masjid di kota Khobar
Saudi Arabia dalam salah
satu khutbah Jum''ahnya
mengatakan, Umat
Islam, mereka itu
memiliki kehormatan dan
harga diri, oleh karena tiu
haruslah kita menjaga
hak-hak dan kehormatan
mereka,
haruslah kita memelihara
perasaan mereka, tetapi
kadang-kadang sesuatu
nasehat yang akan
engkau sampaikan
kepada orang lain apabila
engkau tunda, maka
akan terlambat, maka
harus sekarang juga
engkau menasehatinya
sebelum terlambat.
Contohnya sebagaimana
terdapat dalam Shahih
Muslim. Dari Jabir
bahwasanya ia berkata,
''Sulaik al Ghathafani
datang (ke masjid) hari
Jum''ah dan Rasulullah
shallallahu ''alaihi
wasallam sedang duduk
di atas mimbar, maka
Sulaik langsung
duduk tanpa shalat
terlebih dahulu, maka
Rasulullah shallallahu
''alaihi wasallam
bertanya kepadanya,
''Apakah engaku telah
melaksanakan sholat dua
rakaat?'' Ia berkata,
''Belum'' Maka beliau
shallallahu ''alaihi
wasallam
memerintahkan
kepadanya, ''Bangunlah
dan shalatlah dua
rakaat''.''
Ini bukannya sedang
memburuk-burukkan
atau menyiarkan
kesalahan orang
tersebut, karena saat itu
adalah waktu yang tepat
untuk menasehatinya,
apabila dibiarkan maka
akan terlewatkan,
karena Rasulullah
shallallahu ''alaihi
wasallam
memerintahkan setiap
muslim yang masuk ke
dalam masjid agar shalat
dua rakaat terlebih
dahulu sebelum ia duduk,
perintah tersebut
mengharuskan untuk
dilaksanakan padaa saat
itu juga tidak bisa ditunda
sampai selesai shalat
Jum'ah.
Akan tetapi apabila
memungkinkan bagimu
untuk menunda nasehat
sampai selesainya
majelis lalu engkau
menasiehati sesreorang
dihadapan orang lain di
majelis tersebut maka
hal ini tidak benar.
Penutup
Sebagai penutup marilah
kita simak ucapan Syaikh
Muhammad bin Shalih al
Utsaimin dalam salah
satu ceramahnya, Sangat
disayangkan sekali ketika
saya mendengar tentang
ornag-orang yang
termasuk memiliki
kesungguhan dalam
mencari dan menerima
kebenaran, akan tetapi
mereka berpecah belah,
masingmasing di antara
mereka memiliki nama
dan sifat tertentu.
Fenomena seperti ini
sesungghunya tidak
benar, dan sesungguhnya
dien Allah itu satu dan
ummat Islam adalah
ummat yang satu, Allah
berfirman: Sesunggunya
(agama tauhid) ini adalah
agama kalian semua,
agama yang satu dan
Aku adalah Rab kalian
maka bertakwalah
kepada-Ku .(Al Mu-minun:
52)
Dan Allah Ta''ala
berfirman kepada nabi-
Nya shallallahu ''alaihi
wasallam: Sesungguhnya
orang-orang yang
memecah belah
agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak
ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap
mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah
(terserah) kepada Allah,
kemudian Allah akan
memberitahukan kepada
mereka apa yang telah
mereka perbuat. (Al
An''am : 159)
Dan Allah Ta''ala
berfirman,
Dia telah mensyaratkan
bagi kalian tentang dien
yang telah diwasiatkan
kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa
dan Isa, yaitu
tegakkanlah dien dan
janganlah kalian berpecah
belah tentangnya .(Asy
Syura: 13).
Apabila hal ini merupakan
bimbingan Allah kepada
kita maka seharusnya
kita praktekkan
bimbingan ini, kita
berkumpul untuk
mengadakan suatu
pembahasan, saling
berdiskusi dalam rangka
ishlah (perbaikan) bukan
untuk mendeskreditkan
atau membalas dendam,
karena sesungguhnya
siapa saja yang
membantah orang lain
atau adu argumentasi
dengan maksud
mempertahankan
pendapatnya atau untuk
menghinakan pendapat
orang lain dan bermaksud
untuk mencela bukan
untuk ishlah maka
hasilnya tidak di ridhai
oleh Allah dan rasul-Nya,
pada umumnya demikian.
Kewajiban kita adalah
untuk menjadi umat yang
satu, saya tidak
mengatakan bahwa
setiap manusia tidak
memiliki kesalahan,
bahkan manusia itu
memiliki kesalahan
disamping memiliki
kebenaran. Hanya saja
pembicaraan kita
sekarang ini mengenai
cara memperbaiki
kesalahan, maka bukan
cara yang benar untuk
memperbaiki kesalahan
apabila saya
menyebutkannya
dibelakang orang
tersebut sambil
menjelek-jelekkannya,
akan tetapi cara yang
benar untuk
memperbaikinya adalah
berkumpul dengannya
dan mendiskusikannnya,
apabila terbukti setelah
itu bahwa orang tersebut
tetap mempertahankan
kebatilannya maka saat
itu saya memiliki alasan
bahkan wajib atas saya
untuk menjelaskan
kesalahannya, dan
memperingatkan
manusia dari kesalahan
orang tersebut, dengan
demikian urusanurusan
menjadi baik.
Sedangkan perpecahan
dan bergolong-golongan
maka sesungguhnya
yang demikian tidak
disukai oleh siapapun,
kecuali oleh musuh-
musuh Islam dan musuh
kaum muslimin.
Dinukil dari Tulisan
Ustadz Fariq bin Gasim
Anuz
pada Majalah As Sunnah
Edisi 07/Th.IV/1421-2000
Diambil dari Salafyoon
Online
22 Oktober 2011 pukul
1:57
Created at 2012-05-10 19:22:03
Back to posts